News  

Apa Itu Hak Veto PBB yang Dimiliki 5 Negara?

Slidik .com
Pasang

Sejarah dan Fungsi Hak Veto di Dewan Keamanan PBB

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dibentuk setelah Perang Dunia II dengan tujuan menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Salah satu mekanisme penting dalam Piagam PBB adalah hak veto, yang memberikan kekuasaan khusus kepada lima negara anggota tetap untuk menolak keputusan yang diambil oleh DK PBB.

Hak veto ini lahir dari kesepakatan yang dicapai selama Konferensi Dumbarton Oaks 1944 dan Yalta 1945. Para pemimpin Sekutu ingin memastikan bahwa peran mereka dalam mencegah konflik global tetap dominan. Pada Konferensi San Francisco 1945, hak veto akhirnya dilembagakan sebagai bagian dari Piagam PBB. Pasal 27 menyebutkan bahwa keputusan substantif DK PBB harus disetujui oleh sembilan dari 15 anggota, termasuk persetujuan dari lima anggota tetap, yang dikenal sebagai Permanent Five (P5), yaitu Amerika Serikat, Rusia (dulu Uni Soviet), Cina, Prancis, dan Inggris. Artinya, satu suara penolakan dari salah satu anggota tetap cukup untuk menggagalkan resolusi.

Sejak 1945, hak veto telah digunakan lebih dari 300 kali. Catatan dari Security Council Report menunjukkan bahwa Uni Soviet paling sering menggunakan veto pada awal Perang Dingin, sementara Amerika Serikat paling sering menggunakan veto terkait konflik Israel-Palestina.

Baca Juga....!!!  Prabowo di PBB: Pidato, Agenda, dan Misi Indonesia

Persaingan Negara-Negara Besar di DK PBB

Persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet mencerminkan dinamika politik global di dekade awal DK PBB. Uni Soviet sering memblokir masuknya negara baru yang dianggap pro-Barat, sedangkan Amerika Serikat sering memveto rancangan resolusi yang menekan Israel. Pola ini membuat DK PBB sering mengalami kebuntuan.

Upaya Palestina menjadi anggota penuh PBB juga terganjal veto. Pada 18 April 2024, rancangan resolusi yang diajukan Aljazair gagal karena veto dari Amerika Serikat. Dari 15 anggota DK, 12 mendukung resolusi tersebut, sementara Inggris dan Swiss abstain. Resolusi itu akan merekomendasikan ke Majelis Umum agar Negara Palestina diterima menjadi anggota PBB. Namun, veto AS menggagalkan langkah ini.

Veto AS di Gaza

Amerika Serikat beberapa kali memblokir upaya gencatan senjata di Gaza. Pada 21 November 2024, AS memveto rancangan resolusi yang menyerukan “gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen”. Empat belas anggota lain mendukung resolusi tersebut. Situasi serupa terjadi lagi setahun kemudian, ketika AS kembali memveto resolusi gencatan senjata pada 18 September 2025. Ini menjadi veto keenam AS sejak perang Israel-Hamas meletus hampir dua tahun lalu.

Baca Juga....!!!  Bobby Nasution Razia Truk Aceh, Ini Tanggapan Gubernur Mualem

Veto Rusia dan Cina di Suriah

Kebuntuan juga terjadi dalam konflik Suriah. Menurut laporan PBB, sejak 2011 hingga 2024, Rusia dan Cina memveto lebih dari 15 resolusi terkait konflik Suriah. Rancangan yang diblokir mencakup isu pelanggaran hak asasi manusia, penggunaan senjata kimia, serta seruan gencatan senjata.

Perselisihan Nuklir Iran

Pada 26 September 2025, rancangan resolusi yang diajukan Cina dan Rusia untuk memperpanjang pelonggaran sanksi Iran selama enam bulan gagal diadopsi. Hanya empat negara yang mendukung, yaitu Aljazair, Cina, Pakistan, dan Rusia. Sembilan negara menolak, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Kegagalan ini terjadi setelah Inggris, Prancis, dan Jerman mengaktifkan mekanisme “snapback” yang otomatis memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran.

Perang Rusia-Ukraina

Hak veto juga memicu perpecahan di Barat. Pada 24 Februari 2025, Majelis Umum PBB mengadopsi dua resolusi yang menegaskan Rusia sebagai agresor dalam invasi Ukraina. Namun, Amerika Serikat menolak rancangan Eropa bersama Rusia. Washington kemudian abstain terhadap resolusinya sendiri setelah berhasil diubah oleh negara-negara Eropa. Langkah ini mencerminkan perubahan kebijakan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump.

Baca Juga....!!!  Siapa Sosok Hairi Abbas? Trending Usai Disebut Miliki Senjata Api, Netizen Soroti Jejak Digital dan Kehidupan

Apartheid Afrika Selatan

Berdasarkan laporan EBSCO, pada 31 Oktober 1977, DK PBB sepakat mengutuk kekerasan terhadap oposisi kulit hitam di Afrika Selatan. Namun, blok Afrika mengajukan resolusi tambahan yang menuntut sanksi ekonomi luas, termasuk larangan investasi, penghentian kerja sama nuklir, dan embargo senjata. Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis memveto resolusi tersebut. Meskipun demikian, pada 4 November 1977, DK akhirnya mengesahkan embargo senjata wajib terhadap Afrika Selatan. Sekretaris Jenderal PBB kala itu, Kurt Waldheim, menyebut keputusan ini sebagai langkah bersejarah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *