Putusan Mahkamah Konstitusi Mengubah Status Tapera
Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil keputusan penting terkait status Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam sidang pleno yang digelar di Gedung MK, Jakarta, pada Senin 29 September 2025, MK menyatakan bahwa kepesertaan Tapera tidak lagi bersifat wajib. Keputusan ini dikeluarkan setelah mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera.
Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Tapera yang mewajibkan pekerja dan pekerja mandiri menjadi peserta dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Ia menegaskan bahwa undang-undang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Mereka menggugat beberapa pasal dalam UU Tapera, termasuk Pasal 9, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 54, dan Pasal 72, karena dianggap memberatkan pekerja. Menurut mereka, aturan-aturan tersebut tidak sesuai dengan hak-hak dasar pekerja.
Wakil Ketua MK Saldi Isra menambahkan bahwa konsep tabungan harus didasari atas kesukarelaan dan persetujuan. Pemakaian kata “wajib” dalam Pasal 7 ayat (1), menurutnya, mengubah makna tabungan menjadi pungutan yang memaksa. Hal ini dinilai bertentangan dengan hakikat tabungan yang sebenarnya, yaitu adanya kehendak bebas dari peserta.
Selain itu, Saldi juga menyoroti bahwa Tapera tidak termasuk kategori pungutan resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A UUD 1945. Aturan kewajiban Tapera dinilai menimbulkan beban ganda bagi pekerja, terutama yang sudah memiliki rumah.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa persoalan mendasar UU Tapera bukan hanya satu pasal, tetapi desain hukum secara keseluruhan. Menurutnya, skema Tapera yang hanya mengembalikan simpanan di akhir masa kepesertaan tidak mampu memenuhi tujuan utama, yakni akses terhadap rumah layak dan terjangkau.
Tenggat Waktu untuk Penyusunan Ulang Regulasi
Meskipun putusan MK menyatakan UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945, MK memberikan tenggat waktu dua tahun kepada pemerintah dan DPR untuk menata ulang sistem pembiayaan perumahan. Selama masa tersebut, UU Tapera dinyatakan tetap berlaku dengan kewajiban penyesuaian.
DPR RI merespons putusan MK dengan mendesak pemerintah mencari skema baru untuk program tiga juta rumah. Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Syaiful Huda, mengatakan bahwa meskipun menghormati putusan MK, substansi putusan tersebut masih bisa diperdebatkan. Menurutnya, UU Tapera lahir dengan tujuan agar pekerja lebih mudah mendapatkan rumah.
Syaiful menegaskan bahwa konsekuensi putusan tersebut menjadi pekerjaan tambahan bagi Kementerian Permukiman dan Perumahan (PKP) dalam mencari alternatif pendanaan program prioritas Presiden. Saat ini, Kementerian PKP sedang melakukan simulasi sumber pendanaan agar program tiga juta rumah tetap terealisasi.
Menurut Syaiful, realisasi program perumahan bukan hanya untuk mengurangi backlog yang mencapai jutaan unit, tetapi juga untuk menggerakkan perekonomian nasional. Program tiga juta rumah dianggap sebagai upaya menggulirkan perekonomian melalui penyerapan tenaga kerja, pergerakan UMKM, hingga logistik bangunan.
Sinergi Lintas Lembaga dalam Penyelesaian Masalah Perumahan
Anggota Komisi V DPR RI, Danang Wicaksana Sulistya, menyatakan siap membahas ulang regulasi Tapera bersama pemerintah. Menurutnya, sinergi lintas lembaga sangat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan perumahan di Indonesia. Ia menekankan bahwa ke depan diperlukan saling sinergi dan dukungan antara pemerintah dan lembaga lain agar backlog perumahan bisa ditekan bahkan menuju nol.
Danang menambahkan bahwa DPR akan membahas isu ini lebih lanjut dalam rapat kerja bersama Kementerian PKP serta melibatkan lintas fraksi. Ia menegaskan bahwa DPR pasti mendukung dan akan mendiskusikan hal ini bersama pimpinan serta seluruh fraksi.














