Nepal di Persimpangan Jalan: Kekosongan Kekuasaan dan Tuntutan Monarki Pasca-Demo Rusuh
Kathmandu, Nepal – Slidik.com. Gelombang demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh isu korupsi mengguncang Nepal, berujung pada pengunduran diri sejumlah pejabat tinggi pemerintah, termasuk Presiden Ram Chandra Poudel dan Perdana Menteri KP Sharma Oli. Situasi ini menciptakan kekosongan kekuasaan yang signifikan, memicu ketidakstabilan politik, dan bahkan membangkitkan kembali tuntutan untuk mengembalikan sistem monarki.
Vakum Kekuasaan: Pejabat Ramai-Ramai Mundur
Kerusuhan yang meletus pada Selasa (9/9) tak hanya menyebabkan kerusakan fasilitas publik, tetapi juga memaksa beberapa pejabat penting meninggalkan jabatannya. Perdana Menteri Oli mengundurkan diri setelah kediamannya dibakar massa. Hal serupa diikuti oleh Presiden Poudel, yang dalam pidato nasionalnya menyatakan mundur demi menjaga persatuan dan mencegah konflik lebih lanjut. Pengunduran diri ini, bersama dengan beberapa menteri lain seperti Menteri Keuangan Bishnu Prasad Paudel yang menjadi korban aksi massa, menyebabkan pusat pemerintahan menjadi vakum. Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi masa depan politik Nepal.
Darurat Militer dan Ketidakstabilan Politik
Menanggapi situasi yang tak terkendali, Angkatan Darat Nepal mengambil alih kendali keamanan pada Rabu (10/9), menerapkan darurat militer untuk membendung demonstrasi. Patroli militer dan kendaraan lapis baja kini mendominasi jalan-jalan ibu kota, dengan pemberlakuan jam malam untuk memulihkan ketertiban. Kendati demikian, ketidakstabilan politik diperkirakan akan berlangsung lama. Menurut Bipin Adhikari, seorang Profesor Hukum Tata Negara, Nepal kini memerlukan konsensus nasional dan pembentukan pemerintahan persatuan untuk mengatasi krisis ini. Dialog antara pemerintah dan demonstran dianggap sebagai langkah krusial untuk memenuhi tuntutan publik.
Tuntutan Kembali ke Monarki Menguat
Di tengah kekacauan, salah satu tuntutan paling mencolok yang muncul dari masyarakat, khususnya generasi muda atau Gen Z, adalah keinginan untuk kembali ke sistem monarki. Setelah beralih menjadi republik federal sekuler pada 2008, banyak warga merasa kecewa dengan praktik korupsi dan pembangunan yang lamban. Mereka meyakini bahwa sistem monarki yang teratur dan stabil akan mengembalikan kesejahteraan yang hilang. Demonstrasi yang terus berlanjut, meskipun dalam bentuk yang lebih damai (komunikasi), menunjukkan bahwa ketidakpuasan masyarakat masih tinggi. Tuntutan ini menandai perpecahan dalam pandangan politik di Nepal, dengan sebagian masyarakat melihat monarki sebagai solusi atas kegagalan sistem republik.(Kos)