News  

Diplomasi Islam untuk Perdamaian Global

Slidik .com
Pasang

Momentum Diplomasi Indonesia di PBB

Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 menjadi momen penting dalam diplomasi Indonesia. Ini bukan hanya pertama kalinya dalam satu dekade seorang presiden Indonesia berpidato di forum dunia, tetapi juga karena pesan yang disampaikan: perdamaian, solidaritas, dan komitmen konkret melalui kontribusi pasukan serta bantuan kemanusiaan. Pidato tersebut ditutup dengan salam lintas agama (“Assalamu’alaikum, Shalom, Om Shanti, Namo Budaya”), yang secara simbolis menegaskan wajah plural dan damai Indonesia.

Di balik simbolisme itu, terdapat ranah diplomasi yang lebih luas, yaitu bagaimana Indonesia mengartikulasikan posisinya di dunia Islam. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, demokrasi relatif stabil, dan tradisi Islam moderat yang terawat melalui organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, Indonesia memiliki legitimasi moral yang jarang dimiliki negara lain. Pidato Prabowo yang menegaskan dukungan pada solusi dua negara (Palestina dan Israel) sekaligus pengakuan atas hak Israel untuk hidup berdampingan dan damai, menunjukkan pendekatan yang bisa menjadi ciri khas diplomasi non-blok Indonesia baik bagi dunia Muslim maupun Barat.

Tantangan Dunia yang Semakin Terpecah

Dunia saat ini semakin terpecah oleh persaingan antarnegara yang lebih mengutamakan kepentingan masing-masing. Lembaga internasional seperti PBB kian kehilangan wibawanya, sementara kekuatan teknologi dan persenjataan digunakan bukan untuk menjaga stabilitas, melainkan sebagai alat penindasan dan tekanan. Kondisi ini mendorong lahirnya blok-blok baru yang fokus pada penguatan militer, sedangkan kekuatan ekonomi dipergunakan sebagai senjata lain untuk melemahkan negara lain melalui berbagai instrumen, termasuk penerapan tarif.

Laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2024 mencatat sejumlah kasus penggunaan instrumen perdagangan, mulai dari larangan impor, pencabutan preferensi tarif, hingga tarif antidumping, secara koersif oleh negara kuat terhadap mitranya. Hal ini terlihat pada ketegangan dagang yang berujung pada kerugian ekonomi signifikan bagi negara sasaran.

Baca Juga....!!!  Purbaya vs. Luhut: Rebutan Anggaran Mangkrak MBG?

Sejarah telah membuktikan bahwa persaingan antarnegara sering dipicu oleh perebutan akses terhadap sumber daya alam, seperti era kolonialisme ketika penjajahan dilakukan untuk memperkaya negara penguasa hingga memuncak pada Perang Dunia II. Persaingan itu membentuk blok negara penjajah dan terjajah, yang meninggalkan warisan ketimpangan global.

Bentuk Kolonialisme Modern

Kini, bentuk “penjajahan” tidak lagi berbasis teritorial semata, melainkan beralih pada penguasaan ekonomi dan teknologi yang menjadi instrumen baru dominasi antarnegara. Dalam konteks kontemporer, seperti dicontohkan peneliti Nick Couldry dan Ulises Mejias, kolonialisme modern bisa mengambil bentuk baru melalui ‘data colonialism’, di mana penguasaan dan ekstraksi data pribadi menjadi instrumen dominasi ekonomi dan teknologi yang melintasi batas-batas negara.

Kehadiran negara-negara Dunia Ketiga sebagai kekuatan non-blok pasca Perang Dunia II tetap relevan hingga kini, terutama dalam merespons hegemoni negara maju yang kerap menggunakan dominasi ekonomi, teknologi, dan persenjataan untuk menekan negara-negara berkembang. Gerakan Non-Blok harus terus dipererat melalui penguatan pendidikan, solidaritas antarnegara, serta konsistensi dalam menyuarakan keadilan di tataran global.

Peluang Melalui Kerja Sama Kawasan

Selain itu, peluang besar juga hadir melalui kerja sama kawasan. ASEAN selama ini relatif absen dalam isu-isu besar dunia Muslim. Menurut Hiro Katsumata, hal ini tidak terlepas dari karakteristik ASEAN Way yang menekankan prinsip non-interference, quiet diplomacy, serta konsensus yang membuat ASEAN enggan terlibat dalam isu-isu sensitif di luar kawasan.

Baca Juga....!!!  Gaji Guru, Dosen, TNI, dan Polri Naik 2025 via Perpres Prabowo

Indonesia bisa mengawali transformasi kawasan dengan membangun koalisi negara-negara Asia Tenggara, sehingga menampilkan diri bukan sekadar sebagai suara satu negara, melainkan bagian dari blok regional yang mendukung perdamaian di Timur Tengah. Langkah ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam dinamika diplomasi dunia Islam yang selama ini banyak dipengaruhi oleh kekuatan tradisional seperti Arab Saudi, Iran, Turki, dan Mesir.

Tantangan yang Menghadang

Namun, peluang itu tidak datang tanpa tantangan. Dunia Islam sendiri sangat terfragmentasi. Banyak negara masih terikat rivalitas lama, baik yang berbasis politik, sektarian, maupun kepentingan ekonomi. Dalam lanskap seperti itu, posisi Indonesia tidak dengan sendirinya diterima. Meskipun berpenduduk Muslim terbesar, Indonesia tidak memiliki kedekatan budaya dan sejarah dengan dunia Arab. Bahkan terkadang suara Indonesia dianggap terlalu jauh dari dinamika lokal kawasan.

Tantangan berikutnya datang dari persepsi publik internal. Pernyataan Prabowo tentang pentingnya menjamin keamanan Israel, meski diiringi penegasan dukungan penuh pada Palestina, bisa memicu kecurigaan sebagian kalangan Muslim. Isu Israel-Palestina sangat sensitif, dan salah langkah komunikasi dapat menggerus kepercayaan domestik. Diplomasi Islam Indonesia dijalankan dalam konteks demokrasi. Artinya, setiap langkah di panggung global tidak bisa dilepaskan dari dukungan publik di dalam negeri.

Membangun Kredibilitas Diplomasi

Selain tantangan internal dan kultural, ada pula tantangan geopolitik. Isu-isu besar dunia Islam tidak pernah terlepas dari bayang-bayang kekuatan global, mulai dari Amerika Serikat, Rusia, hingga Tiongkok. Indonesia bisa saja menawarkan 20 ribu pasukan perdamaian, tetapi realisasi pengiriman itu tetap tergantung keputusan Dewan Keamanan PBB yang dipengaruhi sikap politik negara-negara besar. Jika tidak cermat, diplomasi Indonesia bisa terjebak dalam janji tanpa tindak lanjut yang justru menurunkan kredibilitas.

Baca Juga....!!!  Daftar 52 Pati dan Pamen Anggota Tim Transformasi Reformasi Polri Bentukan Kapolri

Meski demikian, tantangan-tantangan itu bukan alasan untuk mundur. Justru di sinilah arah diplomasi Islam Indonesia perlu ditegaskan. Pertama, konsistensi pada prinsip: perdamaian, keadilan, dan inklusivitas. Indonesia tidak boleh terjebak pada kubu tertentu, melainkan tampil sebagai penengah. Kedua, melibatkan organisasi masyarakat Islam secara lebih aktif dengan membina jejaring global yang bisa menjadi modal diplomasi rakyat (people-to-people diplomacy), sehingga memperkuat legitimasi pemerintah. Ketiga, memperluas basis dukungan dengan menggandeng ASEAN dan negara-negara Global South sehingga suara Indonesia tidak terisolasi.

Yang tak kalah penting, diplomasi harus ditopang kontribusi nyata. Pidato di PBB memang penting, tetapi legitimasi sejati datang dari aksi di lapangan: pasukan perdamaian, bantuan pangan, hingga fasilitasi perdamaian.

Pidato Prabowo di PBB adalah permulaan. Dunia Islam saat ini memang membutuhkan suara yang tidak hanya lantang, tetapi juga menenangkan dan sanggup merajut perbedaan. Indonesia punya modal untuk itu: reputasi sebagai negara demokrasi Muslim terbesar, pengalaman menjaga keragaman, dan kedekatan historis dengan banyak pihak. Dengan langkah yang berkesinambungan, bukan sekadar insidental atau fluktuatif, diplomasi Islam Indonesia berpotensi menjadi penopang perdamaian global.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *