Sejumlah mantan tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) era pemerintahan otoriter di Indonesia menyambut positif pendirian Serikat Tahanan Politik Indonesia. Organisasi ini lahir dari inisiatif 27 tahanan di Polda Metro Jaya.
Syahdan Husein, seorang aktivis dari gerakan Gejayan Memanggil yang terjadi pada 4 Oktober 2025, didaulat sebagai ketua Serikat Tahanan Politik Indonesia. Syahdan sendiri berstatus tersangka atas dugaan provokasi terkait aksi demonstrasi yang berlangsung pada Agustus lalu.
Dukungan terhadap pembentukan Serikat Tahanan Politik Indonesia datang dari setidaknya sebelas mantan tapol dan napol yang terlibat dalam berbagai kasus. Beberapa nama yang menyatakan dukungannya antara lain:
- Tri Agus Siswa Santoso: Mantan napol dari Yayasan Pijar.
- Petrus Harianto dan Wilson Obrigados: Mantan tapol dari Partai Rakyat Demokratik (PRD).
- Ken Budha Kusumandaru, Suroso, dan Coen Husein: Mantan napol dari Partai Rakyat Demokratik (PRD).
- Surya Anta dan Ambrosius Mulait: Mantan napol asal Papua.
- Victor Yeimo: Tapol asal Papua.
- Isti Nugroho: Mantan napol terkait kasus buku Pramoedya Ananta Toer.
- Fauzi Isman: Mantan tapol dalam kasus Talangsari, Lampung.
“Kami mendukung penuh dan menyambut baik pembentukan Serikat Tahanan Politik Indonesia serta mengimbau pembentukan serikat serupa di berbagai daerah di Indonesia,” demikian pernyataan tertulis yang disampaikan oleh belasan mantan tapol dan napol pada Kamis, 9 Oktober 2025.
Para mantan tapol dan napol yang menjadi korban rezim otoriter tersebut juga mengecam tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap para aktivis selama proses pemeriksaan dan interogasi. Mereka menuntut negara untuk membebaskan seluruh tahanan politik yang menjadi korban kriminalisasi dalam peristiwa demonstrasi Agustus tanpa syarat apapun.
“Kami juga menuntut dihentikannya kriminalisasi terhadap aktivis,” tegas mereka.
Serikat Tahanan Politik Indonesia secara resmi dibentuk oleh 27 tahanan di Polda Metro Jaya. Keikutsertaan mereka dalam serikat ini diwujudkan melalui penandatanganan surat pernyataan.
Tujuan utama pembentukan Serikat Tahanan Politik Indonesia adalah untuk menampung aspirasi para anggota selama proses hukum berlangsung. Selain itu, serikat ini juga diharapkan menjadi sumber informasi yang terpercaya mengenai kondisi para anggota selama masa penahanan.
Para anggota serikat juga mengajak seluruh tahanan politik di Indonesia untuk bergabung. “Kami mengundang seluruh tahanan politik yang ditangkap dan belum dibebaskan di seluruh Indonesia untuk bergabung dengan Serikat Tahanan Politik Indonesia,” seru mereka dalam surat pernyataan tersebut.
Latar belakang pembentukan serikat ini tak lepas dari dugaan penyiksaan yang dialami oleh para tahanan. Salah seorang tahanan mengungkapkan kepada Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), sebuah kelompok pengacara yang mendampingi sejumlah tahanan, bahwa seorang tahanan lainnya menjadi korban penyiksaan di dalam rumah tahanan.
“Salah satu klien kami mengaku mendapat informasi dari tahanan lain bahwa telah terjadi kekerasan yang diduga kuat dilakukan oleh oknum kepolisian,” ungkap Daniel Winarta, seorang pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sekaligus perwakilan TAUD, pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Menurut pengakuan korban, penyiksaan terjadi saat ia dikeluarkan sementara dari tahanan (dibon) untuk menjalani pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut dilakukan tanpa didampingi oleh penasihat hukum.
Korban mengaku diintimidasi oleh sekitar tujuh orang polisi selama pemeriksaan. Bentuk penyiksaan yang dialaminya meliputi tendangan di bagian kaki, pukulan di dada, penutupan mata, serta penyetruman di bagian kaki dan lengan.
Akibat penyiksaan tersebut, korban dilaporkan mengalami sesak napas dan bibir pecah akibat pukulan. Atas permintaan korban dan rekan-rekan tahanan lainnya, ia sempat dibawa ke Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Metro Jaya.
Daniel Winarta menjelaskan bahwa kesadaran untuk berserikat muncul dari pengalaman para tahanan dalam menghadapi kesulitan di dalam tahanan. “Mereka melihat bahwa untuk memperjuangkan hak-hak mereka di dalam, mereka tidak bisa melakukannya sendirian. Misalnya, jika ada yang mengalami kekerasan, mereka bersama-sama memperjuangkan agar temannya dibawa ke Dokkes. Dari situlah kesadaran untuk berserikat muncul,” paparnya.














