Korupsi Inhutani: Hutan Dijual,Negara Rugi Triliunan

 

Skandal Inhutani V: Penjualan Hutan dan Kerugian Negara yang Mencapai Triliunan Rupiah

Kasus Inhutani V yang sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan hanya sekadar persoalan suap antara direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang kehutanan dengan pihak swasta. Lebih dari itu, kasus ini merupakan cerminan buruk tata kelola hutan di Indonesia, di mana aset negara yang seharusnya dilindungi dan dimanfaatkan untuk kepentingan publik justru menjadi lahan untuk mencari keuntungan pribadi.

Read More

Hutan adalah milik rakyat, bukan milik direksi atau pengusaha. Negara memiliki mandat untuk mengelola hutan demi kesejahteraan seluruh masyarakat. Oleh karena itu, setiap perjanjian kerja sama terkait pengelolaan hutan haruslah dianggap sebagai kontrak publik yang sah secara hukum melalui persetujuan seorang Menteri.

Akar Masalah: Perpanjangan Kontrak Bermasalah

Fokus utama dalam kasus ini adalah tahun 2018, di mana Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Inhutani V dan PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) diperbarui. Padahal, sejak tahun 2018 hingga 2019, PT PML telah menunjukkan indikasi wanprestasi yang jelas. PT PML tidak membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) senilai Rp2,31 miliar, tidak menyetor dana reboisasi sebesar Rp500 juta per tahun, dan bahkan tidak melaporkan kegiatan bulanan.

Seharusnya, fakta-fakta ini menjadi alasan kuat untuk menghentikan perjanjian kerja sama tersebut. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. PKS tahun 2018 tetap disahkan, dan dari sinilah pintu suap mulai terbuka lebar.

Landasan Hukum yang Dilanggar

Secara hukum, tindakan ini sangat jelas melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal 3 UU Tipikor menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain menyalahgunakan kewenangannya hingga merugikan keuangan negara dapat dipidana. Selain itu, Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan bahwa pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan membiarkan suatu perbuatan yang seharusnya dicegah juga dapat dimintai pertanggungjawaban.

Menyetujui perpanjangan PKS meskipun mitra kerja sama telah wanprestasi merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang. Membiarkan pelanggaran terus berlanjut adalah kelalaian yang sama berbahayanya. Kedua tindakan ini sama-sama membuka celah terjadinya tindak pidana.

Pertanggungjawaban di Tingkat Tertinggi

PKS tahun 2018 tidak bisa dianggap hanya sebagai dokumen teknis biasa. Ia adalah legitimasi politik dan hukum. Tanpa tanda tangan Menteri, perjanjian tersebut tidak akan pernah sah. Oleh karena itu, muncul pertanyaan mendasar: siapa yang menandatangani perpanjangan tersebut? Mengapa perjanjian yang jelas-jelas bermasalah dapat tetap disahkan? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan menahan direksi BUMN atau komisaris swasta. Harus ada pertanggungjawaban di tingkat otoritas tertinggi.

Kerugian Negara yang Fantastis

Konsekuensi dari pembiaran ini sangat mahal. Negara kehilangan potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga mencapai Rp1,59 triliun per tahun. Jika kerugian ekologis, sosial, dan hilangnya manfaat ekonomi lingkungan juga diperhitungkan, angka kerugian tersebut membengkak menjadi sekitar Rp1,95 triliun per tahun.

Pasal 18 UU Tipikor bahkan menegaskan bahwa pelaku wajib membayar uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana. Artinya, kerugian dalam kasus ini tidak bisa diremehkan hanya karena uang suap yang ditemukan KPK hanya berjumlah miliaran rupiah. Dampaknya jauh lebih besar, yaitu hilangnya hak rakyat atas hutan, rusaknya ekologi, dan merosotnya kredibilitas negara.

KPK Membuka Peluang Pemeriksaan Pejabat Tinggi

KPK telah memberi sinyal bahwa mereka tidak menutup kemungkinan untuk memanggil mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, maupun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini, Raja Juli Antoni. Langkah ini bukan sekadar wacana, melainkan logika hukum yang sangat berkaitan dengan akar masalah.

Jika PKS tahun 2018 adalah pintu masuk suap, maka pejabat yang memberikan legitimasi terhadap perpanjangan tersebut wajib dimintai klarifikasi. Tanpa adanya klarifikasi dari pihak-pihak terkait, penyidikan hanya akan berhenti di permukaan, seolah-olah masalahnya selesai dengan menahan direksi dan pihak swasta. Padahal, akar persoalannya justru terletak pada legitimasi negara yang dilembagakan melalui tanda tangan seorang Menteri.

Membongkar Akar Masalah Korupsi Inhutani V

Membongkar PKS tahun 2018 berarti membongkar jantung masalah korupsi Inhutani V. Tanpa tindakan tersebut, publik hanya akan melihat KPK sibuk menangani akibat dari korupsi, tanpa pernah menindak akar penyebabnya. Jika akar masalah tersebut dibiarkan, hutan rakyat akan terus menjadi korban, sementara negara hanya menjadi alat yang melegalkan praktik rente.

Inilah momentum untuk menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dari atas hingga bawah. Karena hutan adalah milik rakyat, dan rakyat berhak tahu siapa yang membuka pintu suap tersebut.

Ringkasan Kasus Inhutani V

Kasus Inhutani V merupakan skandal korupsi besar yang melibatkan pengelolaan kawasan hutan di Lampung oleh PT Industri Hutan V (Inhutani V), yang merupakan anak perusahaan Perum Perhutani. Berikut adalah ringkasan lengkapnya:

  • Kerja Sama yang Bermasalah: PT Inhutani V menjalin kerja sama dengan PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) untuk mengelola sekitar 55.157 hektare hutan di Lampung. Namun, PT PML tidak memenuhi kewajibannya, seperti membayar Pajak Bumi dan Bangunan (Rp2,31 miliar) dan dana reboisasi (Rp500 juta per tahun).
  • Putusan Mahkamah Agung: Meskipun bermasalah, Mahkamah Agung pada tahun 2023 memutuskan bahwa kerja sama tetap berlaku dan PT PML wajib membayar ganti rugi sebesar Rp3,4 miliar.
  • Suap dan Gratifikasi: Direktur Utama Inhutani V, Dicky Yuana Rady, diduga menerima uang tunai sebesar Rp100 juta dan SGD189.000 (sekitar Rp2,4 miliar) dari Direktur PT PML, Djunaidi, serta fasilitas pribadi berupa mobil Jeep Rubicon. Suap tersebut diberikan untuk memuluskan perubahan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang menguntungkan PT PML.
  • Operasi Tangkap Tangan (OTT): KPK melakukan OTT pada tanggal 13 Agustus 2023 dan menetapkan tiga tersangka:
    • Dicky Yuana Rady (Dirut Inhutani V) sebagai penerima suap
    • Djunaidi (Dirut PT PML) sebagai pemberi suap
    • Aditya (Staf Perizinan SB Grup) sebagai pemberi suap
  • Barang Bukti: KPK menyita uang tunai, dua mobil (Rubicon dan Pajero), serta dokumen keuangan yang menunjukkan aliran dana hingga mencapai Rp21 miliar.
  • Pemeriksaan Lanjutan: KPK memeriksa Dida Mighfar Ridha, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Raja Juli Antoni, karena pernah menjabat sebagai Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari. Pemeriksaan ini membuka kemungkinan adanya keterlibatan pejabat yang lebih tinggi.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *