
Penulis merupakan Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
Ruang Rapat Paripurna DPR: Kinerja yang Mengundang Pertanyaan
Ruang rapat paripurna DPR pada 2 Oktober 2025 terasa berbeda. Untuk pertama kalinya, DPR menggelar Rapat Paripurna Khusus untuk menyampaikan laporan kinerja Tahun Sidang 2024–2025. Ketua DPR, Puan Maharani, naik ke podium, menyampaikan capaian: 16 undang-undang telah disahkan dan 10 rancangan undang-undang masih dalam Pembicaraan Tingkat I.
Tak hanya itu, menurut data resmi DPR, selama setahun lembaga ini menggelar 282 Rapat Kerja, 259 Rapat Dengar Pendapat (RDP), 196 Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), serta 560 kunjungan kerja pengawasan. Dari sisi representasi, DPR menerima 6.297 aspirasi masyarakat, terdiri atas 5.519 surat dan 778 melalui website DPR.
Dalam pidatonya, Puan juga menyampaikan permohonan maaf jika kinerja DPR belum sepenuhnya memenuhi harapan rakyat. Laporan kinerja ini kemudian diserahkan kepada pimpinan MPR, DPD, dan fraksi-fraksi DPR.
Langkah ini patut diapresiasi. DPR mencoba menghadirkan transparansi dan akuntabilitas melalui forum resmi. Namun, di balik deretan angka itu, publik tetap berhak bertanya: sejauh mana kinerja ini benar-benar bermakna bagi demokrasi?
Demokrasi dalam Angka
Demokrasi memang membutuhkan angka—laporan, indikator, dan target. Namun demokrasi tak bisa dipersempit menjadi tabel statistik. Angka harus dibaca bersama konteks dan kualitas.
Enam belas undang-undang yang disahkan, misalnya, tampak impresif. Tetapi publik menilai bukan dari kuantitas, melainkan apakah undang-undang itu menjawab masalah sehari-hari: harga kebutuhan pokok, jaminan keadilan, atau perlindungan sosial.
Ratusan rapat yang digelar DPR juga patut dicatat. Namun, pertanyaan publik sederhana: apakah rapat-rapat itu menghasilkan keputusan yang memperbaiki nasib rakyat? Inilah catatan demokrasi yang tak bisa dihapus oleh angka.
Jurang Kepercayaan
Fakta lain yang tidak kalah penting adalah soal kepercayaan publik. Berbagai survei selama setahun terakhir menunjukkan DPR konsisten berada di papan bawah lembaga negara yang dipercaya masyarakat.
Jurang ini lahir karena publik merasa suaranya tidak diwakili. Ribuan aspirasi masuk ke DPR, tetapi sedikit yang benar-benar terdengar dalam kebijakan. Surat-surat rakyat menumpuk, kanal digital ramai, namun jarang ada UU yang substansinya berubah karena aspirasi rakyat kecil.
Inilah yang dalam teori demokrasi disebut krisis representasi: rakyat secara formal diwakili, tetapi secara substantif merasa ditinggalkan.
Politik Representasi
Konstitusi menempatkan DPR sebagai lembaga sentral. Pasal 20 dan Pasal 20A UUD 1945 memberi DPR tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Namun, dalam praktik, fungsi ini sering kali menyusut.
Dalam legislasi, DPR memang produktif. Tetapi, kualitas partisipasi publik kerap dipertanyakan. Sebagian UU dipercepat pembahasannya, sementara UU penting seperti RUU Perampasan Aset justru berlarut-larut.
Dalam fungsi anggaran, DPR punya kewenangan besar. Tetapi publik jarang merasakan pengawasan serius DPR dalam penggunaan APBN, termasuk dalam soal subsidi energi atau proyek besar negara.
Sementara dalam pengawasan, angka 560 kunjungan kerja memang besar, tetapi publik sulit melihat hasil nyatanya. Banyak masalah besar tetap berlangsung tanpa koreksi berarti.
Fungsi Pengawasan yang Lemah
Di sinilah kritik paling tajam. DPR seharusnya menjadi benteng rakyat terhadap kekuasaan eksekutif. Namun fungsi pengawasan sering tumpul.
Sebagai contoh, isu kebocoran anggaran, konflik agraria, hingga penyalahgunaan kekuasaan masih marak. DPR memang aktif melakukan kunjungan dan rapat, tetapi tindak lanjutnya jarang terlihat. Banyak rekomendasi DPR berhenti sebagai dokumen tanpa eksekusi.
Sebagian analis menilai hal ini dipengaruhi koalisi politik besar di Senayan. Dengan hampir semua partai berada dalam lingkar kekuasaan, DPR cenderung kehilangan keberanian untuk berbeda dengan pemerintah.
Konstitusi yang Ditinggalkan
Konstitusi bukan hanya teks prosedural, tetapi juga semangat moral: melindungi hak rakyat, menjamin keadilan sosial, menjaga keseimbangan kekuasaan.
Ketika DPR sibuk mengejar target angka tanpa menimbang kualitas, maka roh konstitusi ditinggalkan. Demokrasi kita terancam menjadi prosedural: sah secara formal, tetapi miskin substansi.
Konstitusionalisme yang sehat menuntut DPR untuk setia pada nilai, bukan sekadar teks.
Partisipasi yang Perlu Dimaknai
Laporan kinerja DPR mencatat ribuan aspirasi publik. Tetapi publik ingin tahu: aspirasi itu berujung di mana? Partisipasi rakyat jangan berhenti di formulir atau arsip digital.
DPR seharusnya membuka partisipasi lebih luas, bukan sekadar RDPU yang dihadiri segelintir kelompok. Teknologi memberi peluang: forum digital, kanal transparan, atau konsultasi terbuka. Jika DPR sungguh serius, partisipasi publik bisa menjadi kekuatan nyata, bukan formalitas.
Tahun sidang berikutnya akan menjadi ujian. Agenda Prolegnas 2025–2026 sarat RUU krusial: revisi UU ASN, RUU KUHAP, RUU Perampasan Aset.
Pertanyaannya: apakah DPR akan melanjutkan pola politik angka atau beralih ke politik kualitas? Apakah DPR berani memastikan setiap undang-undang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya kepentingan elite?
Pengawasan ke depan juga akan menentukan. DPR harus berani menjadi penyeimbang pemerintah, meski tidak populer di lingkar kekuasaan. Tanpa itu, demokrasi kehilangan jiwanya.
Catatan Demokrasi
Laporan kinerja DPR memang memberi gambaran produktivitas. Tetapi demokrasi tidak bisa diukur hanya dari angka. Demokrasi membutuhkan kualitas representasi, keberanian pengawasan, dan kesetiaan pada konstitusi.
Publik berhak berharap laporan paripurna DPR bukan sekadar ritual tahunan, melainkan momentum perbaikan. Rakyat tidak butuh DPR yang sibuk rapat tetapi diam saat haknya dilanggar. Rakyat ingin DPR hadir di denyut kehidupan sehari-hari.
Inilah catatan demokrasi kita: DPR boleh melaporkan kinerja, tetapi rakyat tetap menjadi hakim akhir. Kinerja DPR sudah ada, tetapi kepercayaan publik masih rendah. Konstitusi memberi mandat besar, tetapi roh konstitusi sering terabaikan.
Sebagai lembaga perwakilan, DPR harus kembali ke pangkal jalan: menjadi rumah rakyat, bukan sekadar rumah elite. Hanya dengan itu, laporan paripurna DPR tidak berhenti sebagai angka, melainkan benar-benar menjadi catatan demokrasi yang membanggakan.














