Menggugat Demokrasi Tingkat Desa
Pendahuluan
Demokrasi di tingkat desa sering digadang-gadang sebagai bentuk nyata dari kedaulatan rakyat. Desa adalah ruang paling dekat dengan masyarakat, sehingga idealnya praktik demokrasi berjalan lebih murni dan partisipatif. Namun, realitas di lapangan kerap menunjukkan bahwa demokrasi desa menghadapi tantangan serius: dari dominasi elit, politik uang, hingga rendahnya partisipasi warga.
Demokrasi Desa dalam Konteks Ideal.
Secara normatif, demokrasi desa diatur dalam UU Desa No. 6 Tahun 2014. Desa diberi ruang untuk mengatur dirinya sendiri melalui prinsip “dari desa, oleh desa, untuk desa”. Forum musyawarah desa, pemilihan kepala desa, dan perencanaan pembangunan partisipatif menjadi wujud demokrasi akar rumput.
Problem yang Menggugat Demokrasi Desa
1. Dominasi Elit Lokal
Pemimpin desa kerap dikuasai oleh elit tertentu yang menguasai sumber daya ekonomi maupun jaringan politik. Demokrasi pun berubah menjadi oligarki kecil. Hal tersebut seakan menutup pintu bagi orang lain yang bulan kelompoknya untuk berkiprah untuk desa. Desa seakan hanya milik sekelompok orang dalam lingkaran kekuatan oligarki. Mereka yang berbeda dalam konteks pilihan politiknya tidak dilibatkan sama sekali terhadap apapun yang berhubungan dengan desa.
2. Politik Uang dan Transaksional
Pemilihan kepala desa (pilkades) sering diwarnai praktik “serangan fajar”. Akibatnya, kepemimpinan lebih berbasis modal daripada kualitas. Termasuk pengangkatan perangkat desa juga terkadang tidak bisa dilepaskan dari perilaku transaksional. Hal ini tentu menjadi bagian dari menciderai demokrasi. Demokrasi diukur dengan transaksional yang berbasis materi. Sementara pertimbangan profesional dan SDM hanya sebatas mimpi.
3. Rendahnya Partisipasi Warga
Banyak warga bersikap pasif dalam musyawarah desa. Kebijakan akhirnya hanya diputuskan segelintir orang. Pasifnya warga desa bisa disebabkan karena kurangnya edukasi politik dan pemberdayaan. Sehingga seakan-akan yang berhak mengerti tentang desa hanya segelintir orang.
4. Keterbatasan Literasi Politik
Kurangnya pemahaman warga desa tentang hak dan kewajiban politik membuat demokrasi mudah dibajak oleh kepentingan pragmatis. Sehingga ruang politik tingkat desa hanya dikuasai oleh kelompok tertentu.
Mengapa Demokrasi Desa Harus Dikritisi (Digugat)?
Menggugat demokrasi di desa bukan berarti menolak demokrasi, melainkan menguji sejauh mana demokrasi berjalan sesuai asas keadilan, partisipasi, dan transparansi. Kritik ini penting agar desa tidak terjebak dalam pseudo-democracy—di mana ada prosedur demokrasi, tapi esensinya nihil.
Menuju Demokrasi Desa yang Sehat
- Penguatan Literasi Politik Warga Desa
Pendidikan politik warga harus digalakkan agar rakyat benar-benar menjadi subjek, bukan objek politik. Hal ini sangat penting, karena desa menjadi area demokrasi yang bersentuhan langsung dengan komunitas gras root, maka dibutuhkan edukasi politik yang etis. Dengan demikian politik desa tidak hanya didominasi oleh kelompok tertentu yang tidak mencerminkan pendidikan politik yang merakyat.
- Transparansi dan Akuntabilitas
Dana desa dan kebijakan publik harus terbuka untuk diawasi bersama. Salah satu asas demokrasi adalah wujudnya transparansi kebijakan dan anggaran desa. Seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi hari ini informasi banyak bisa diakses lewat beberapa media sosial.
- Penguatan Lembaga Musyawarah Desa
Musdes harus dihidupkan sebagai ruang partisipasi kritis, bukan sekadar formalitas. Keterlibatan kelompok masyarakat secara menyeluruh sangat penting. Mereka yang berpartisipasi di forum bukan hanya dari kelompok yang mendukung Kepala Desa saat Pilkades. Karena sesungguhnya semua warga desa memiliki hak yang sama. Oleh karena tidak boleh ada diskriminasi warga desa dalam pengambilan keputusan terkait tentang desa.
- Kaderisasi Kepemimpinan Desa
Mendorong lahirnya pemimpin desa yang lahir dari integritas dan pengabdian, bukan dari kekuatan modal. Hal ini sangat penting agar desa kedepan dipimpin oleh Kepala Desa yang jujur, adil dan merakyat serta membawa kemajuan desa.
- Penutup
Demokrasi tingkat desa memang harus “digugat” agar tidak kehilangan ruhnya. Desa bukan sekadar ruang administratif, melainkan pusat kehidupan masyarakat yang kaya nilai gotong royong. Demokrasi desa yang sehat adalah fondasi bagi demokrasi bangsa yang lebih adil, partisipatif, dan bermartabat.
Penulis : Akhmad Sururi