Peran Ruang Digital dalam Dinamika Politik dan Kedaulatan Rakyat
Dalam era digital yang semakin berkembang, suara rakyat di dunia maya kini memiliki pengaruh besar terhadap dinamika politik dan pengambilan keputusan di dunia nyata. Hal ini menjadi perhatian khusus dari Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Andreas Hugo Pareira, yang menyoroti bagaimana fenomena politik di era digital memperlihatkan perubahan mendasar dalam cara masyarakat berpartisipasi dalam sistem demokrasi.
Andreas menyampaikan contoh, seperti keputusan mahasiswa untuk membatalkan rencana demonstrasi setelah melihat potensi penunggangan isu di media sosial. Fenomena ini menunjukkan kecerdasan politik generasi muda sekaligus membuktikan betapa kuatnya pengaruh ruang digital dalam kehidupan politik.
“Jika kita tidak memahami fenomena ini secara tepat, demokrasi kita bisa kehilangan arah. Oleh karena itu, redefinisi makna rakyat dan kedaulatan rakyat dalam konteks demokrasi modern perlu dipertimbangkan,” ujarnya dalam sebuah acara diskusi di Jakarta.
Pernyataan Andreas disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Kelompok I Badan Pengkajian MPR RI dengan tema “Kedaulatan Rakyat Dalam Perspektif Demokrasi Pancasila” yang digelar di Tangerang. Dalam diskusi tersebut, ia menekankan pentingnya merevisi konsep rakyat dan kedaulatan rakyat dalam konteks demokrasi modern.
Selain itu, Andreas juga menilai bahwa lebih dari dua dekade setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diskursus mengenai implementasi dan efektivitas konstitusi terus berkembang. Meskipun banyak kemajuan telah dicapai, praktik ketatanegaraan masih menghadapi tantangan-tantangan yang kompleks.
Andreas mempertanyakan apakah praktik kedaulatan rakyat dan demokrasi, termasuk pemilihan langsung presiden dan kepala daerah, sudah sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keempat. Ia menekankan perlunya memperkuat demokrasi substansial di tengah dominasi demokrasi prosedural saat ini. Hal ini sesuai dengan Keputusan MPR Nomor III/MPR/2024 tentang Rekomendasi MPR Masa Jabatan 2019-2024 dan secara khusus menugaskan kepada Badan Pengkajian untuk melakukan penelitian salah satunya melalui FGD ini.
Seorang ahli, Prof Dr. Ikrar Nusa Bhakti, menjawab pertanyaan Andreas dengan menyampaikan bahwa makna kedaulatan rakyat secara substansial bukan sekadar slogan. Menurut Ikrar, konsep kedaulatan rakyat tidak bisa dilepaskan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang pernah berada di bawah penjajahan.
“Keyakinan akan kedaulatan rakyat erat hubungannya dengan keyakinan akan kemerdekaan. Jika rakyat berdaulat, itu berarti rakyat bisa melakukan apa saja untuk kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Surya Tjandra, S.H., LL.M menyampaikan bahwa kedaulatan rakyat merupakan satu-satunya dasar yang benar bagi berdirinya sebuah negara merdeka. Ia menyebut ada lima konsep utama yang harus dipahami dalam praktik kedaulatan rakyat. Pertama, kekuasaan itu milik rakyat. Pemerintah dibentuk dan dipertahankan berdasarkan persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR. Kedua, warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Ketiga, adanya akuntabilitas pemimpin, bagaimana pemimpin bertanggung jawab. Keempat, adanya kesetaraan dan hak warga negara. Dan kelima, semua itu berada dalam kerangka konstitusional. Ia menambahkan, kedaulatan rakyat juga menjadi dasar legitimasi demokrasi itu sendiri.
Surya juga menyoroti fenomena politik digital yang membentuk pola baru dalam relasi rakyat dan pemerintah. Ia merujuk pada hasil jajak pendapat Kompas pada 15 September lalu yang menunjukkan 49% responden kini merasa semakin berani menyuarakan kritik terhadap pemerintah.
“Sebagai masyarakat sipil, saya senang dengan perkembangan ini. Pengalaman aksi turun ke jalan, bahkan sampai ribuan orang mengiringi pemakaman seorang ojol, Affan Kurniawan, itu tidak akan hilang begitu saja. Di era digital, semua bisa dibagikan dengan cepat, emosi lebih dominan daripada detail, dan itu mampu menggerakkan orang untuk bertindak,” ungkapnya.
Menurut Surya, dinamika ini menandai masuknya Indonesia ke dalam level politik baru yang bahkan belum pernah terjadi sejak era reformasi.