News  

Riau Merana: Setetes Dolar dari Migas?

Slidik .com
Pasang

Sebuah pernyataan mengejutkan dilontarkan oleh Gubernur Riau, Abdul Wahid, saat bertemu dengan Direktur Utama Pertamina Hulu Rokan (PHR), Ruby Mulyawan, yang disaksikan oleh Kepala SKK Migas Sumbagut, pada Jumat, 17 Oktober 2025, di Kantor PHR, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Wahid mengungkapkan fakta yang mencengangkan: bahwa Riau hanya menerima satu dolar Amerika Serikat per bulan dari hasil pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) di wilayahnya.

“Jika Riau hanya mendapatkan satu dolar per bulan, bagaimana kami bisa menutupi defisit anggaran dan membangun daerah ini?” tanya Abdul Wahid dengan nada tenang, namun sarat makna. Pernyataan ini langsung menjadi sorotan tajam. Bagi banyak pihak, pernyataan tersebut bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah teguran keras terhadap sistem fiskal nasional yang dianggap belum adil bagi daerah-daerah penghasil sumber daya alam.

Riau selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi penghasil minyak terbesar di Indonesia. Namun, di balik gemerlap pipa-pipa dan sumur-sumur migas, masyarakat setempat masih menghadapi berbagai persoalan klasik, seperti:

  • Jalan-jalan yang rusak parah.
  • Sekolah-sekolah yang membutuhkan perbaikan mendesak.
  • Keterbatasan fiskal daerah yang menghambat pembangunan.

Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Wahid menyampaikan keresahan mendalam yang dirasakan oleh masyarakat Riau secara kolektif. Beliau menekankan bahwa pembagian hasil melalui Participating Interest (PI), yang seharusnya menjadi instrumen keadilan ekonomi daerah, tidak boleh hanya menjadi formalitas tanpa memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga....!!!  Diplomasi Islam untuk Perdamaian Global

“Jika hasilnya hanya satu dolar, berarti ada yang salah dalam desain kebijakan dan implementasinya,” tegas Wahid. Menurutnya, daerah penghasil seperti Riau berhak mendapatkan porsi fiskal yang lebih adil untuk membiayai pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Dalam forum tersebut, Abdul Wahid tidak menunjukkan kemarahan atau emosi negatif lainnya. Sebaliknya, ia menampilkan kejernihan berpikir seorang pemimpin yang memahami akar permasalahan ketimpangan fiskal. Wahid mengaku datang bukan untuk menuding atau menyalahkan pihak manapun, melainkan untuk berdiskusi secara bermartabat dan mencari solusi bersama.

“Kedatangan kami bukan tanpa tujuan, kami datang ke sini untuk berdiskusi,” ucap Wahid dalam pantun pembuka khas Melayu yang disambut hangat oleh para peserta pertemuan. Sikapnya yang tenang namun tegas menjadikan Wahid dipandang oleh banyak pihak sebagai seorang advokat keadilan fiskal bagi daerah-daerah penghasil migas. Beliau tidak hanya berbicara tentang angka-angka, tetapi juga tentang martabat dan marwah masyarakat Riau.

Gubernur Wahid berpendapat bahwa keadilan fiskal bukan hanya tentang pembagian hasil, tetapi juga tentang pengakuan atas kontribusi daerah terhadap pembangunan nasional. Riau, katanya, tidak ingin hanya menjadi “penonton” di tanahnya sendiri. “Riau ingin diajak berbicara, bukan hanya sekadar diberi laporan,” ujarnya.

Baca Juga....!!!  Profil Hotmangaradja Pandjaitan, Mantan Jenderal Kopassus yang Kini Jabat Dubes RI di Singapura

Beliau juga menegaskan bahwa langkah ini bukanlah bentuk perlawanan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN), melainkan sebuah upaya untuk memperbaiki hubungan antara pemerintah pusat dan daerah agar lebih proporsional dan berkeadilan. Menurut Wahid, masyarakat Riau tidak hidup dari istilah-istilah teknokratis seperti “pembagian laba” atau “perjanjian operator”. Mereka membutuhkan hasil nyata dari kekayaan alam yang digali di wilayahnya, seperti:

  • Jalan yang baik dan layak dilalui.
  • Air bersih yang mudah diakses.
  • Lapangan kerja yang memadai.
  • Fasilitas publik yang memadai.

Pertemuan di Kantor PHR tersebut menjadi momen penting yang menandai perubahan arah komunikasi antara Pemerintah Provinsi Riau dan dunia usaha migas. Wahid menekankan bahwa dialog yang terbuka dan jujur adalah kunci utama agar keadilan fiskal dapat diwujudkan.

“Kami tidak datang untuk menuntut secara emosional, tetapi untuk menata ulang hubungan agar lebih adil bagi semua pihak,” kata Wahid. Pernyataan tersebut mendapat apresiasi dari kalangan akademisi dan tokoh masyarakat yang menilai keberanian Wahid sebagai langkah progresif untuk memperjuangkan hak-hak daerah penghasil.

Baca Juga....!!!  Kemenpan-RB Jelaskan Kebijakan Pendaftaran CPNS 2026

Bagi Abdul Wahid, perjuangan fiskal ini bukan semata-mata untuk kepentingan Riau, tetapi juga untuk mengingatkan negara bahwa keadilan energi harus menyentuh daerah-daerah penghasil. Bahwa setiap tetes minyak yang dihasilkan dari bumi Riau seharusnya menjadi sumber kemakmuran bagi masyarakatnya, bukan hanya sekadar menjadi statistik pendapatan negara semata.

“Jika dari ladang-ladang minyak itu Riau hanya mendapatkan satu dolar, maka suara ini adalah pengingat bahwa muruah Melayu tidak boleh tergadai, apalagi hanya dengan angka yang sangat kecil itu,” tuturnya. Dengan pernyataan tersebut, Gubernur Abdul Wahid menempatkan dirinya bukan hanya sebagai seorang kepala daerah, tetapi juga sebagai simbol perlawanan bermartabat terhadap ketimpangan fiskal yang sudah terlalu lama dibiarkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *